Ada seorang pemain sandiwara yang sangat andal. Aku sering berbincang dengannya. Menatap semua kesedihannya, kesendirian yang disangkalnya, hingga semua fantasi yang pernah dipikirkannya. Aku begitu membencinya, sekaligus menyayanginya dengan sangat. Aku membenci semua topengnya, yang ia gunakan untuk hidup dalam dunianya yang dianggapnya sebagai panggung sandiwara ekstra raksasa… Dan dia hidup didalamnya, bekerja didalamnya, bercinta di dalamnya, dan berjalan didalamnya.
“ Kita…tidak pernah bisa lepas dari semua topeng yang kita punya. Kita punya topeng pertama ketika akil balig datang. Memakainya dalam setiap kesempatan, menggunakannya disaat kita tahu…disaat orang lain pun memakai topengnya masing – masing….” Jawabnya ketika kami berdua berbincang dengan segelas kopi dan sebatang rokok kretek. Bersama dengan petir yang membelah langit.
Dan aku selalu membencinya jika aku mengingat hal itu. Sangat menyebalkan, tahu dia adalah seorang pembohong besar sama seperti semua orang di dunia ini. Yang tersenyum sementara hatinya mendendam dengan bara diantara sekamnya.
Tapi aku juga menyayanginya…terlebih ketika ia sedang melepas topengnya dan mengeluh kecapaian dengan semua beban di pundaknya. Dia tersenyum. Seperti sekarang ini, ia sedang terduduk di depanku. Memejamkan mata sementara secangkir kopi ginsengnya mengepul.
“ Seperti wanita….”
Ehh… aku menoleh menatapnya.
“ Seperti wanita…..” Ulangnya dengan pelan, tetap memejamkan matanya.
Apaan sih…tiba – tiba bicara tidak ada juntrungannya…. Jawabku kesal.
“ Ini…asap rokokku ini. Kalau kuhembuskan di udara seperti seorang wanita yang melenggok menggoda dan menghilang ketika kau hendak menangkapnya….”
Ahhh…tidak juga. Buktinya banyak wanita yang mengejar para pria… Balasku tak mau kalah.
Dia tersenyum, menghisap rokoknya dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan…nikmat sekali.
“ Bodoh…pria itu selalu eksis dalam nyatanya. Dia memberontak dalam dunia nyata…jadi dia akan menjadi ada dalam kehidupan ruang. Sedang wanita memberontak dalam hatinya…dan tidak eksis dalam kenyataannya. Wanita sulit tertangkap karena hatinya selalu berontak…sedangkan tubuhnya tertahan. Dia selalu melayang dalam dunianya sendiri, kau tahu. “
Aneh….bisikku dengan sangat lirih.
Petir bersinar membelah angkasa. Seperti sinar api dari tukang las yang sangat indah.
“ Aku capai…Bro ! “ ujarnya tiba – tiba.
Capai ? kenapa harus capai…..bukankah kau sangat menyenangi kegiatanmu ? tanyaku dengan sedikit bingung.
“ Sudah kubilang…ini semua topeng ! Aku bukan aku…tapi aku adalah kamu….kamu kejujuran dalam diriku. Dan aku capai dengan semua hidupku. Aku lelah. “ bentaknya
Tapi…kamu hidup dengan cinta dalam hati, dan pikiran dalam otakmu. Kau kaya raya karenanya. Apalagi yang kau inginkan ? jawabku lembut.
“ Teman. Teman yang nyata. Teman yang tidak seperti asap rokok ini. Teman dalam arti yang nyata, yang mampu aku sentuh dan menjadikanku seorang tanpa topeng. Sepertimu. “ mataya yang sedari tadi tertutup kini terbuka lebar.
Kenapa harus ada teman lain, Bro ? Bukankah temanmu untuk kau sentuh sudah cukup banyak…sementara aku bisa ada untukmu, untuk semua kejujuranmu…. HHHHhhh….kau sangat aneh… bisikku lagi.
Kami terdiam. Lalu perlahan dia mematikan rokoknya dan berjalan ke dalam rumah. Ibu datang dengan langkah berjingkat, hendak mengagetkan dirinya.
Aku masih tetap bertafakur di luar rumah. Memandang petir yang masih jua menggelegar….
Hujan kok tidak turun – turun ya…..
“ Bro…aku mau mati! “ bisiknya ketika dosen Teknologi sedang berbicara di depan kelas.
Heyyy….tumben kau mau melepas topeng di muka umum. Dan sangat tumben kau berbicara
dengan sangat jelas tentang kematian…. Ujarku sambil duduk disebelahnya.
“ Jangan banyak cingcong….bisakah kau buat aku mati sekarang ? Aku ingin mati sekarang. “ tanyanya.
Setan alas…terang tidak bisa, tolol. Aku ini nurani bukannya dewa kematian…memang kenapa kau sampai berkata seperti itu ?
Dia terdiam sambil matanya mulai berkaca – kaca…. Saat itulah aku menghilang dan meninggalkannya sendiri. Aku muak melihat airmatanya…karena itu airmataku…sebab aku merasakannya.
Dan aku muncul kembali ketika ia sedang berbaring di ranjang. Ada sesosok tubuh lain disana. Menatapnya dengan penuh kasih dalam tudung jubahnya yang hitam. Malaikat maut.
Broo…kenapa kau panggil dia ? Kau kenapa sih… teriakku sambl mengguncang – guncangkan tubuhnya.
“ Sudah kubilang aku ingin mati…. Karena aku memang merasakannya. Maut terus berada disampingku selama 3 hari berturut – turut. “ bisiknya
Dan kau tidak memberi tahu aku ? Sialan kamu….. Memang kau anggap aku siapa ? Orang lain….. Semburku sambil memukuli bantalnya.
“ Sori…tapi bukankah dengan begini aku tidak akan mengeluh lagi kepadamu ? Dan dengan begini kita bisa lebih sering nongkrong bersama sambil ngobrol tentang segala hal....” Dia tesenyum dan aku menangis.
Di luar semua orang menggedor pintu kamarnya. Dia tetap tidak bergerak.
Dia mati.
Aku berdiri berdampingan dengannya. Tepat disamping seseorang yang sedang memeluk jenasahnya dan menangis histeris.
“ Itu pacarku…cinta yang selalu aku jaga hingga saat ini. “ bisiknya sambil berjongkok dan mengecup bibir gemetar pacarnya.
Kau tidak menyesal ? tanyaku.
“ Buat apa aku menyesal ? Bukankah dengan begini aku sudah tidak perlu memakai topeng dengan beban berat itu….dan lagi dengan begini aku bisa mengobrol denganmu dan malaikat maut hingga hari itu tiba….” Jawabnya sambil melangkah keluar rumah dan tersenyum.
Seseorang sudah menunggu kami di luar. Malaikat Maut.
“ Bro…mau kemana ? hari cerah…sedang tidak ada pekerjaan hingga pukul 6 sore hari. Ngomong – ngomong, siapa nama kalian berdua ? “ Tanya Malaikat maut pada kami.
“ Ina…..” jawabnya dengan ringan sembari menyalakan rokok yang entah darimana ia dapat.
Nurani….jawabku dengan ringan juga. Ini hari kelahiran kami berdua ke dunia penuh cinta dan kejujuran.
Di suatu tempat, Bumi semua petir…2012.
“ Kita…tidak pernah bisa lepas dari semua topeng yang kita punya. Kita punya topeng pertama ketika akil balig datang. Memakainya dalam setiap kesempatan, menggunakannya disaat kita tahu…disaat orang lain pun memakai topengnya masing – masing….” Jawabnya ketika kami berdua berbincang dengan segelas kopi dan sebatang rokok kretek. Bersama dengan petir yang membelah langit.
Dan aku selalu membencinya jika aku mengingat hal itu. Sangat menyebalkan, tahu dia adalah seorang pembohong besar sama seperti semua orang di dunia ini. Yang tersenyum sementara hatinya mendendam dengan bara diantara sekamnya.
Tapi aku juga menyayanginya…terlebih ketika ia sedang melepas topengnya dan mengeluh kecapaian dengan semua beban di pundaknya. Dia tersenyum. Seperti sekarang ini, ia sedang terduduk di depanku. Memejamkan mata sementara secangkir kopi ginsengnya mengepul.
“ Seperti wanita….”
Ehh… aku menoleh menatapnya.
“ Seperti wanita…..” Ulangnya dengan pelan, tetap memejamkan matanya.
Apaan sih…tiba – tiba bicara tidak ada juntrungannya…. Jawabku kesal.
“ Ini…asap rokokku ini. Kalau kuhembuskan di udara seperti seorang wanita yang melenggok menggoda dan menghilang ketika kau hendak menangkapnya….”
Ahhh…tidak juga. Buktinya banyak wanita yang mengejar para pria… Balasku tak mau kalah.
Dia tersenyum, menghisap rokoknya dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan…nikmat sekali.
“ Bodoh…pria itu selalu eksis dalam nyatanya. Dia memberontak dalam dunia nyata…jadi dia akan menjadi ada dalam kehidupan ruang. Sedang wanita memberontak dalam hatinya…dan tidak eksis dalam kenyataannya. Wanita sulit tertangkap karena hatinya selalu berontak…sedangkan tubuhnya tertahan. Dia selalu melayang dalam dunianya sendiri, kau tahu. “
Aneh….bisikku dengan sangat lirih.
Petir bersinar membelah angkasa. Seperti sinar api dari tukang las yang sangat indah.
“ Aku capai…Bro ! “ ujarnya tiba – tiba.
Capai ? kenapa harus capai…..bukankah kau sangat menyenangi kegiatanmu ? tanyaku dengan sedikit bingung.
“ Sudah kubilang…ini semua topeng ! Aku bukan aku…tapi aku adalah kamu….kamu kejujuran dalam diriku. Dan aku capai dengan semua hidupku. Aku lelah. “ bentaknya
Tapi…kamu hidup dengan cinta dalam hati, dan pikiran dalam otakmu. Kau kaya raya karenanya. Apalagi yang kau inginkan ? jawabku lembut.
“ Teman. Teman yang nyata. Teman yang tidak seperti asap rokok ini. Teman dalam arti yang nyata, yang mampu aku sentuh dan menjadikanku seorang tanpa topeng. Sepertimu. “ mataya yang sedari tadi tertutup kini terbuka lebar.
Kenapa harus ada teman lain, Bro ? Bukankah temanmu untuk kau sentuh sudah cukup banyak…sementara aku bisa ada untukmu, untuk semua kejujuranmu…. HHHHhhh….kau sangat aneh… bisikku lagi.
Kami terdiam. Lalu perlahan dia mematikan rokoknya dan berjalan ke dalam rumah. Ibu datang dengan langkah berjingkat, hendak mengagetkan dirinya.
Aku masih tetap bertafakur di luar rumah. Memandang petir yang masih jua menggelegar….
Hujan kok tidak turun – turun ya…..
“ Bro…aku mau mati! “ bisiknya ketika dosen Teknologi sedang berbicara di depan kelas.
Heyyy….tumben kau mau melepas topeng di muka umum. Dan sangat tumben kau berbicara
dengan sangat jelas tentang kematian…. Ujarku sambil duduk disebelahnya.
“ Jangan banyak cingcong….bisakah kau buat aku mati sekarang ? Aku ingin mati sekarang. “ tanyanya.
Setan alas…terang tidak bisa, tolol. Aku ini nurani bukannya dewa kematian…memang kenapa kau sampai berkata seperti itu ?
Dia terdiam sambil matanya mulai berkaca – kaca…. Saat itulah aku menghilang dan meninggalkannya sendiri. Aku muak melihat airmatanya…karena itu airmataku…sebab aku merasakannya.
Dan aku muncul kembali ketika ia sedang berbaring di ranjang. Ada sesosok tubuh lain disana. Menatapnya dengan penuh kasih dalam tudung jubahnya yang hitam. Malaikat maut.
Broo…kenapa kau panggil dia ? Kau kenapa sih… teriakku sambl mengguncang – guncangkan tubuhnya.
“ Sudah kubilang aku ingin mati…. Karena aku memang merasakannya. Maut terus berada disampingku selama 3 hari berturut – turut. “ bisiknya
Dan kau tidak memberi tahu aku ? Sialan kamu….. Memang kau anggap aku siapa ? Orang lain….. Semburku sambil memukuli bantalnya.
“ Sori…tapi bukankah dengan begini aku tidak akan mengeluh lagi kepadamu ? Dan dengan begini kita bisa lebih sering nongkrong bersama sambil ngobrol tentang segala hal....” Dia tesenyum dan aku menangis.
Di luar semua orang menggedor pintu kamarnya. Dia tetap tidak bergerak.
Dia mati.
Aku berdiri berdampingan dengannya. Tepat disamping seseorang yang sedang memeluk jenasahnya dan menangis histeris.
“ Itu pacarku…cinta yang selalu aku jaga hingga saat ini. “ bisiknya sambil berjongkok dan mengecup bibir gemetar pacarnya.
Kau tidak menyesal ? tanyaku.
“ Buat apa aku menyesal ? Bukankah dengan begini aku sudah tidak perlu memakai topeng dengan beban berat itu….dan lagi dengan begini aku bisa mengobrol denganmu dan malaikat maut hingga hari itu tiba….” Jawabnya sambil melangkah keluar rumah dan tersenyum.
Seseorang sudah menunggu kami di luar. Malaikat Maut.
“ Bro…mau kemana ? hari cerah…sedang tidak ada pekerjaan hingga pukul 6 sore hari. Ngomong – ngomong, siapa nama kalian berdua ? “ Tanya Malaikat maut pada kami.
“ Ina…..” jawabnya dengan ringan sembari menyalakan rokok yang entah darimana ia dapat.
Nurani….jawabku dengan ringan juga. Ini hari kelahiran kami berdua ke dunia penuh cinta dan kejujuran.
Di suatu tempat, Bumi semua petir…2012.