Dan aku ingin menjadi seperti itu….bersinar layaknya matahari. Memberikan kehangatan dan terang kepada semua orang. Aaahhh….tapi aku tak bisa seperti itu. Aku terkungkung oleh kegelapab jeruji sel ini. Menyebalkan.
Sudah berhari - hari aku berbaring di atas ranjang berwarna putih ini. Sangat menyebalkan. Tapi aku suka….aku suka berbaring seperti ini. Merasakan sepoi angin bertiup dari jendela…menyertai wangi bunga melati yang ditanamkan oleh Bunga di bawah jendela kamarku.
Hei…aku kangen Bunga. Apakah dia masih tetap secantik pertama kali kami bertemu di waktu SD dan senyumannya masih secerah mentari pagi ? Aku kangen manusia itu….aku ingin menjitak kepalanya.
Ahhh….aku ingin tertidur sebentar. Ingin mengulang memori yang usang dikepalaku…. Huaaahh….aku mengantuk.
......
“ Dino…Dino…hei, apakah kamu mendengar aku ? Bangun, Pemalas…” teriak seseorang dikupingku. Segera aku membuka mataku. Hei…dimana ini…bukankah aku seharusnya berada di dalam kamarku yang dingin, monoton, kaku, tapi menguraikan wangi angin dan melati ?
Sejenak cahaya matahari membuat mataku terpicing. Silau. Tidak pernah aku sesilau ini. Tak lama kemudian aku sudah mampu menatap padang bunga matahari yang maha luas. Dan sedetik kemudian aku merasakan jemariku digenggam oleh seseorang. Aku menoleh menatapnya.
“ Bunga….” Bisikku tertahan. Bunga yang paling aku sayangi sedang tersenyum dengan indahnya.
“ Dino…Pemalas!!! Dari kemarin Bunga sudah mencoba membangunkan Dino. Dino tidur terus…..Bunga kesel !!! “ gerutu Bunga sambil cemberut.
Aku tersenyum melihatnya merajuk. “ Hei…Sayang, bukan salah Dino kalau Dino tidak bisa bangun….tanya sama yang membuat Dino tidak dapat bangun. Bunga jangan marah dong….” Bujukku sambil memeluknya dan mencoba menghirup wangi tubuhnya yang khas. Wangi yang selalu aku rindukan. Tiba – tiba tubuhku bergetar dan sekeliling kami berubah menjadi padang yang tandus. Tak lama….datang beberapa pria berwajah merah yang dengan segera merenggut Bunga dari pelukanku.
Bunga memberontak dalam pegangan mereka. Dan aku hanya mampu terdiam terpaku. Mulutku terkunci. Tanganku terikat sesuatu yang tak terlihat. Hanya pikiranku yang mampu berteriak….dan seketika itu juga tubuhku bergetar dengan hebat….
.....
“ Dino…Dino…ayo bangun….” Dan mataku langsung terbuka. Peluh membasahi tubuhku. Mataku menoleh menatap manusia yang menggoyangkan tubuhku. Seorang suster. Aku menatap dirinya. Suster tua yang begitu peduli padaku.
“ Waduh…Mas…mimpi apa tho…kok keringetan seperti ini….hayo, sini Ibu lap dulu. Kalau udah minum obat yaa…” sapa Suster Miranda itu. Ia mendudukan diriku untuk memandikan diriku.
“ Mas…jebulane kowe ki kenopo tho…bisa dimasukkan oleh saudara di Rumah Sakit Jiwa ini ? Padahal kowe ki hanya tidak mau ngomong saja. Ngomong tho Mas…biar Ibu ki bisa lebih mengerti ono opo. “ Suster Miranda terus berbicara denganku sambil mengelap tubuhku dengan air hangat. Sudah 5 bulan sepertinya aku berada di dalam kamar yang baru sekarang aku tahu sebuah rumah sakit jiwa.
Ada sesuatu yang membuatku tidak mampu berbicara. Ada sesuatu yang menghilang dalam otakku….yang seharusnya aku mampu mengingat dengan jelas. Entah apa itu….berkali – kali aku mencoba untuk mengingat…berkali – kali pula aku harus berteriak kesakitan….dan sejak saat itu aku berhenti mengingat sesuatu….
“ Nah…sudah selesai. Ayo, mas Dino tiduran lagi…tapi jangan tidur yo. Sebentar lagi waktunya makan. Ta’ tinggal dulu yo…” dan Suster Miranda meninggalkanku dalam kediaman yang begitu sunyi.
Aku menatap sebuah lukisan bunga matahari. Ada sebuah tanda tangan disana. Aku berusaha untuk memperjelas penglihatanku. Bunga. Hei…tanda tangan itu milik Bunga. Pantas saja…sebab hanya dia yang tahu kalau aku sangat menyukai bunga matahari. Aku ingin menggapai lukisan itu. Siapa tahu aku bisa membuat otakku menjadi lebih baik. Siapa tahu aku bisa mendapatkan memori tentang Bunga dengan lebih dalam.
Dengan sedikit rikuh aku mengembangkan tangan, seakan mampu memeluk lukisan itu dari tempatku berbaring. Dan……BZZZtttt……seakan ada listrik yang mengenai seluruh tubuhku.
Seketika itu juga berkelebatan semua hal yang selama ini kurasa sebagai sebuah déjà vu. Bunga yang tersenyum. Bunga yang mencintaiku. Bunga yang mengandung anakku. Bunga yang diperkosa oleh sekelompok orang suruhanku. Bunga yang tergelepar pingsan di kamar rumah sakit. Bunga yang tertidur diam dalam peti matinya. Dan aku yang telah membunuhnya.
Dan….seketika itu pula semua memori yang berjalan bagai putaran angin itu berhenti sekejap. Tepat pada ingatan mengenai sebuah surat Bunga padaku dan sebuah surat undangan pernikahan.
........Dino…maafkan Bunga…Bunga akan menikah dengan Dr. Hamid. Dr. Hamid bersedia menerima kondisi Bunga karena dia dan Bunga tahu tidak mungkin hidup dalam pernikahan denganmu. Maafkan Bunga….Bunga tidak bisa menikah dengan seorang pria dengan jiwa yang sakit. Bunga tidak mungkin menikah dengan seorang Psikopat…. Maaf.
Bunga selalu mencintai Dino.
Selamat tinggal.........
Sepenggal ingatan mengenai surat dari Bunga itulah yang membuka semua ingatan yang tertelan selama 5 bulan ini. Penghianatan yang terlalu sakit untuk tidak dibalas. Dan untuk itulah aku membunuh Bunga dengan segala rasa cintaku. Seperti aku membunuh anak hasil cintaku dengannya.
Melati.
Well…aku sudah tahu semua. Sekarang saatnya untk membalaskan sakit hatiku pada semua keluarga Bunga. Yang membuat aku dan Bunga terpisah.
Aku menatap keluar jendela yang masih mengalirkan wangi melati. Mungkin memang sudah saatnya…..
3 bulan kemudian…
“ Mas…aduh kok kowe ki gampang men sembuhnya. Aduh…seneng aku! “ seru Suster Miranda melihat perkembanganku. Aku hanya tersenyum tipis saja. Ada banyak hal yang berkelebat begitu saja dalam otakku. Mungkin Sudah saatnya…..
Hari itu sama seperti hari biasanya. Kamar dengan kemonotonnnya, kekakuannya, dengan jeruji yang dingin, dan semilir angin yang membawa wangi melati. Sayang, esok mungkin melati tidak berkembang lagi. Aku sudah mencabutnya hingga akar terdalam, dan membuangnnya di tempat sampah. Bercampur dengan semua baju lamaku.
Aku menatap dari luar pagar pembatas rumah sakit. Ada suara keributan dari baliknya. Ada suara Suster Miranda yang berteriak nyaring. Hei…selamat tinggal. Aku akan pergi sebentar untuk membalas semua manusia yang menarik Bunga dari hidup dan pelukku.
May black…always beside me.
Amien.
No comments:
Post a Comment