Jika jiwa terus menari dan bermimpi
Ketidakwarasan padaku
Selimut tebal hati rapuhku
Aku takkan sadari bahwa kau tak lagi disini.
( Ketidakwarasan Padaku, Sheila on 7 )
Cuma itu yang aku ingat dalam pikiranku. Lantunan lagu yang begitu menancap dalam hatiku. Tidak akan terlupa hingga aku menjelang kematian nanti. Aku bersumpah. Karena aku terlalu mencintai dirinya.
Ketukan – ketukan di pintu kamarku terdengar terus menerus. Mungkin Ibu atau yang lainnya. Aku bangkit dari ranjangku. Gelap. Tapi aku sudah mampu menyesuaikan diri. Berjalan diantara botol – botol obatku, diktat – diktat yang mulai berdebu. Aku membuka kunci pintu tanpa membuka rantai pengaitnya.
“ Siapa ? “ tanyaku. Inikah suaraku ? Yang telah aku belenggu selama 6 bulan….
Ibu menatapku dari celah pintu. Ibu yang arogankah itu ? tak seperti dirinya. Ada bayang kelelahan dalam mata tuanya. “ Mas, keluarlah ! Ibu ingin berbicara…lihat makanan kesukaanmu telah ada di meja. Yuk makan bersama! “
“ Maaf…Dimas tidak mau. “ kataku sambil menutup pintu lagi. Ibu terdiam sesaat sebelum mulai mengetuk lagi sambil memanggil namaku. Maaf….aku tidak bisa membukanya Ibu…maaf aku cuma ingin sendiri saja. Aku membaringkan diri lagi diatas ranjang. Sementara kegelapan melingkupi diriku… yang membawaku kembali ke masa itu. Ketika Ristra masih menjadi matahariku…
........
“ Dimas…kenapa mesti belajar terus sih !!” teriak Ristra padaku. Gadis manis itu bertolak pinggang disamping meja belajarku. Manis sekali. Tapi toh, aku mengacuhkannya karena mataku kembali tertumbuk pada diktat – diktatku.
Aku melihat Ristra mulai marah. Matanya sudah melotot hendak memakanku. “ Dimas…..” geramnya menarik diktat yang aku pegang dan membuangnya ke lantai.
“ Ristra…apa – apaan sih ? “ teriakku sambil bangkit hendak mengambil diktat itu. Ketika aku menunduk Ristra sudah menendang diktat itu lagi entah kemana dan mendorong tubuhku hingga terjengkang di atas tempat tidur kamar kos.
“ Bermainlah…” kata Ristra lembut sambil melepaskan bajunya. Dan aku cuma ternganga. Entah berapa kali sudah aku bercinta dengan kupu – kupu malam ini, tapi selalu aku dibuatnya terkagum – kagum.
Cintaku yang salah namun benar adanya. Aku mendapat tugas untuk membuat laporan tentang dunia menengah ke bawah dan salah satu sumberku adalah Ristra. Kupu – kupu malam yang sebaya denganku. Kupu – kupu malam yang terlalu cantik untuk kubiarkan melelang keindahannya dihadapan banyak orang. Dan aku jatuh cinta padanya….
“ Dimas…kenapa mesti belajar terus sih !!” teriak Ristra padaku. Gadis manis itu bertolak pinggang disamping meja belajarku. Manis sekali. Tapi toh, aku mengacuhkannya karena mataku kembali tertumbuk pada diktat – diktatku.
Aku melihat Ristra mulai marah. Matanya sudah melotot hendak memakanku. “ Dimas…..” geramnya menarik diktat yang aku pegang dan membuangnya ke lantai.
“ Ristra…apa – apaan sih ? “ teriakku sambil bangkit hendak mengambil diktat itu. Ketika aku menunduk Ristra sudah menendang diktat itu lagi entah kemana dan mendorong tubuhku hingga terjengkang di atas tempat tidur kamar kos.
“ Bermainlah…” kata Ristra lembut sambil melepaskan bajunya. Dan aku cuma ternganga. Entah berapa kali sudah aku bercinta dengan kupu – kupu malam ini, tapi selalu aku dibuatnya terkagum – kagum.
Cintaku yang salah namun benar adanya. Aku mendapat tugas untuk membuat laporan tentang dunia menengah ke bawah dan salah satu sumberku adalah Ristra. Kupu – kupu malam yang sebaya denganku. Kupu – kupu malam yang terlalu cantik untuk kubiarkan melelang keindahannya dihadapan banyak orang. Dan aku jatuh cinta padanya….
......
Mataku menerawang jauh. Melewati batas kegelapan. Dan aku cuma bisa mengenangnya. Ristra yang indah dan lembut. Selalu perawan dimataku, selalu suci dicintaku. Dengan segumpal janin anakku, ia terbang bagai bidadari ke surga…..ya dia telah tiada.
Ahhh, mataku kembali cengeng…mungkin kedua mata ini rindu menatap tubuh dan matanya yang cerah bersinar. Dan jemariku gemetar…mereka rindu hangatnya tubuh Ristra. Seperti hatiku rindu cintanya…. Seperti hari – hariku merindukan sentuhan tawanya yang begitu indah.
Aku menatap seberkas sinar yang masuk dari celah jendela kamarku. Sinar yang mengarah lurus pada setangkai bunga matahari kering yang tergeletak dengan beberapa rontokan helai bunganya.
Hatiku tercerabut untuk mengingat semua kenangan hari itu….hari ketika Ristra dengan sangat manisnya menemuiku di lapangan kampus.
.......
“ Ristra…kenapa kamu keluar rumah jam ini ? Apa kamu sakit…tumben – tumbenan. Biasanya kamu tidak pernah mau meski aku yang mengajakmu keluar…apalagi ini kampusku. Sayang…apa ada masalah ? Sayang, jangan buat aku semakin bodoh….” Tegurku ketika itu sambil menatap matanya yang memancarkan sinar jenaka.
“ Ini..hanya ingin memberikan ini….” Katanya sambil mengulurkan setangkai bunga matahari yang sedang berkembang dengan warna kuning keemasan yang indah.
Aku tercengang sejenak….sebelum tiba – tiba aku melihat sebuah test pack terlilit dengan sebuah benang merah di tangkainya. Ada tanda positif. Dengan sangat tolol aku bergantian menatap wajah cengengesan Rastri dengan bunga matahari itu.
“ Apakah kau tidak ingin memeluk calon ibu anakmu…” bisik Rastri lirih masih dengan senyuman dan pandangan mata yang menggoda.
“ Kamu gila….. Rastri, kamu gila sayang….sangat gila….” Teriakku dengan sangat keras sambil menggendong tubuh mungilnya.
Oh..Tuhan…aku berterima kasih padaMu….memberikan seseorang yang begitu berarti…meski dia ternoda…meski aku bukanlah yang pertama baginya…. Tapi aku tahu aku mencintainya tulus…seperti dia juga mencintaiku tulus…. Teriakku dalam hati.
Mataku menangis. Mereka mengalirkan airmata bahagia yang sangat haru. Sebuah tanda cinta untuk Rastri kekasihku…sebuah tanda cinta yang lebih jernih dan bening daripada cincin kristal manapun. Tetes – tetes airmata penerimaan akan cinta Rastri dan kedatangan anakku.
.........
Dan semua kenangan itu seakan berputar dengan sangat nyata ketika aku menyentuh tangkai bunga matahari itu. Yang masih terliliti oleh benang merah. Benang merah yang mengikat cintaku dan cinta Rastri. Sekarang dan selamanya.
Perlahan aku menghela nafas. Merasakan kepedihan merambati hatiku dengan sangat. Kepedihan bahwa aku harus menerima kenyataan bahwa hatiku terbawa oleh terbangnya 2 manusia itu. Dan dengan langkah gontai aku mendekati ranjang usangku.
Aaahhh….aku terlalu rindu padanya. Dan aku tertidur sambil memikirkan dirinya seperti 180 malam yang telah aku lalui….
Hari ke 183
…dan aku tetap merindukannya. Keluargaku terus menerus menggedor – gedor pintu kamarku. Dan aku bergerak pun tidak. Hanya terus mengoceh seperti sekarang ini…. Aku mendengar mereka berkata aku sudah tidak waras lagi, tapi aku masih. Aku tetap aku yang normal, hanya saja mereka yang telah mengubah hatiku. Dengan memisahkan aku dengan kedua belahan hatiku, Ristra dan janin anakku.
Masih terbayang saat semuanya terjadi, Ristra berbaring di tempat tidurku. Mengusap perutnya yang semakin membesar. Sementara aku sedang sibuk mengetik. Dari sudut mataku…aku menatapnya. Aku tergoda. Dan memang aku sudah berniat untuk bereaksi jika tergoda…
..........
“ Papa…kau tahu kenapa aku membawakanmu bunga matahari ketika aku memberitahukan kehamilanku….? “ Tanya Rastri dengan lembut. Otakku tak lagi mampu mencegah pikiranku untuk bercabang dalam nada suara yang menggoda itu.
“ Hemm…tidak, dan memang aku bertanya – tanya. “ jawabku sambil memutar kusiku untuk menatapnya.
“ Karena aku ingin….kabar kehamilanku, akan membuat kehidupan kita setelah Retro, anak kita lahir dapat bersinar dan hangat layaknya sinar metahari…. Aku inginnya membawakan matahari betulan…tapi belum sempat…” balasnya sambil menatap mataku.
Oh…Tuhan…aku begitu mencintainya, melebihi apapun….di dunia ini. Perlahan aku bangkit dari tempat dudukku dan mulai menutupi diktat – diktat yang bertebaran di atas meja dengan begitu saja. Mataku lapar akan sentuhan Rastri yang lembut.
“ Kau memang kekasih tercintaku, sayang Yang begitu indah…jangan kau pernah meninggalkanku. Aku terlalu mencintaimu…” Ujarku, sambil berjalan untuk mendekati dirinya. Ristra hanya tersenyum. Dan tanganku mengusap lembut perut tempat anakku mulai berkembang….
Braaaakk….pintu kamar kosku terbuka lebar. Empat orang suruhan Papa datang menyeruak. Mereka menarik Rastri dari pelukanku…menyeretnya sementara aku hanya mampu menangis….dalam cengkeraman 2 orang. Ada bercak darah yang bertumpahan dari rumah anakku…dari rahim Rastri.
“ Tuhan…dimana Tuhan ? kirimkan petirMu, Tuhan….buat mereka hangus terbakar.” Aku berteriak dalam lelehan airmataku. Kupingku sakit mendengar jerit tangis Rastri yang kesakitan dan memangil namaku. Berkali – kali aku berteriak memanggil Tuhan. Tapi berkali – kali pula Papa menempeleng kepalaku dan membentakkan hinaan – hinaan kepada Rastri.
Oh..Tuhan…tolong selamatkan Rastri….biarkan aku mati juga tak apa…asalkan mereka berdua selamat dan hidup. Oh Rastri bertahan sayang….bertahanlah. tolon…bertahanlah Retro….tolong…. Teriakku dalam hati diantara darah yang mengucur dan lelehan airmata.
Tapi Tuhan tidak mendengarku. Rastri dan anakku yang diambil olehNya. Sementara aku mendapati tubuhku tercambuk penghinaan kata – kata Papa yang malu pada aibku……
............
Dan ahh…aku kembali tertidur. Tapi kini aku bermimpi Rastri dan anak laki – lakiku tersenyum sambil mengulurkan tangan….hemmm, aku tidur pulas saat ini.
Hari ke 193…Atau malah kurang ya ?
Aku membuka mataku. Aneh bukan kegelapan yang aku temui. Aku melihat padang bunga matahari. Begitu kuning dan segar. Sejauh mata memandang hanya padang bunga matahari. Dan langit berwarna biru.
Lamat – lamat aku mendengar seseorang….2 orang ? memanggil namaku. Ada sosok putih berdiri tak jauh dariku. Rastri dan…anakku. Bidadariku tersenyum…seperti ketika air kehidupanku memenuhi rahimnya. Begitu indah dan cantik.
“ Selamat datang, Papa Dimas. Mama Ristra sama Retro sudah menunggu Papa…...” Ristra berteriak lembut, sementara aku berlari menuju dirinya. Menyongsong dirinya untuk memberikan sebuah pelukan cinta disertai pandangan haru.
“ Aku mencintaimu….maaf, membuatmu menunggu ! “ Aku berkata dengan lirih penuh penyesalan. Dan aku melihat sebuah sinar pemahaman yang sangat teduh dalam mata Rastri. Dengan sigap aku memondong Retro yang sedari tadi menarik pipiku dengan gemas. Kami berjalan bergandengan tangan diantara bunga matahari yang menatap kami dengan penuh kehangatan.
Aku telah menjadi seorang ayah…dan suami.
Hari ke 193…
Dimas telah pergi. Ia meninggal dalam kamarnya yang gelap. Begitu banyak coretan nama Ristra di dinding kamarnya. Setangkai bunga matahari kering tergenggam erat dalam tangannya.
No comments:
Post a Comment