Headphoneku sedang mengalunkan lagu The Rasmus. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengarkan lagu mereka ketika memandang langit biru. Aku ingin mati….ingin merasakan mati. Sekarang dan untuk selamanya. Aku ingin mati.
Jika kau memandang langit..apa yang kau pikirkan ? Aku…kenikmatan untuk mati dan tenggelam dalam lautan hitam kegelapan tanpa dasar. Melayang terbang…tapi tentu dengan ditemani oleh headphone yang mengalunkan lagu The Rasmusku. Ha..ha..ha…ha..ha.. aku ingin membawa pistol berisi satu butir peluru, supaya nanti jika kumati aku bisa menembak malaikat pertama yang membawaku ke surga….he..he..he…aku ingin berada di kegelapan antara hidup dan mati. Diantara surga dan neraka. Di rahim Ibu….
Aku hanya orang biasa yang ingin mati. Mencoba berkali – kali mati, mencari berulang kali kematian. Sementara kematian meninggalkanku ketika aku mendekatinya.
Fuuhh…aku bangkit dari tidurku. Berjalan menuju pagar pembatas, menyangkutkan sikuku diatas pegangannya. Aku berada di lantai atas atap gedung tertinggi di Jakarta. Indah. Seperti kau sedang melayang diatas Jakarta. Dan aku menangis. Dalam hati. Aku ingin mati…
Lelah ketika kau berada dalam perjalananmu. Letih dalam penglihatanmu…dan kau ingin buta. Bosan dengan pendengaranmu…dan kau ingin tuli. Kau hilang kendali atas semuanya…dan kau hanya ingin beristirahat dari control akan dunia yang sudah mulai menggila. Dan kini aku ingin mati….
Agama manapun mengajarkan “ JANGAN KAU MEMINTA MATI, SEBAB HIDUP ADALAH KARUNIA “. Tapi aku membencinya…aku meminta mati. Sebab itu karunia bagiku.
Angin meniup rambutku. Mendesaukan nafas laut, tempat Jakarta pertama kali bermula. Tempat aku juga dahulu berada….hidup dan eksis. Hingga sesuatu membawaku pada sebuah ke-immortal-an. Perjanjianku dengan sesuatu yang membuatku terus hidup hingga nanti Sangkakala berbunyi lantang dan kiamat datang.
Ketika VOC datang aku sudah berada dalam dunia penjajahan. Ketika Jepang mendarat, aku turut menjadi saksi. Ketika Soekarno menjadi presiden aku menjadi berdiri mendengar pidatonya. Ketika PKI berulah…aku terdiam. Aku medapatkan hidup dalam mereka. Dan aku mencintainya….hidupku ada saat itu. Terkejar – kejar dalam perburuan buronan PKI, tapi aku merasakan darahku bergejolak. Aku tersenyum….aku tertawa bahagia. Aku menemukan hidupku.
Tapi tragis….Hidupku terenggut. Hilang dalam kesunyian zaman. Dan kini aku terdampar. Dalam abad yang sama sekali membuatku muntah. Dan aku benar- benar muntah. Memuntahkan semua dahak berusia ratusan tahun dan sarapan dari abad 21. Aku berumur 29 tahun dan aku sudah mengarungi semua zaman presiden Indonesia.
Kini aku berada pada atap gedung tertinggi Jakarta. Menatap semuanya. Sementara mendung menggelayut manja di langit. Aku tersenyum ringan. Sebelum aku melompat dan melayang melewati beribu jendela. Tertawa dalam damai…sambil berdoa semoga kali ini aku mati dengan sukses.
Aku rasakan desau angin menerpa dadaku. Membuatku melayang sepert burung yang terbang di angkasa. Sekilas aku merasakan aku terbang menuju lintasan zaman – zaman yang aku telah lalui. Berkali – kali aku melihat reinkarnasi Luisa, tunanganku yang kucintai. Tersenyum dengan bahagia aku berdoa, berharap aku bisa menepati janji untuk menembak pelangi kesukaannya. Dia Skizofernia akut. Sejak dahulu hingga sekarang. Dan aku mencintainya.
Aku membuka mata…dan aku melihat kerumunan orang berada di bawah sana. Menunjukku dengan muka ngeri…mungkin. Tapi…hilang saja kalian semua…sebab aku ingin mati. Ingin reinkarnasi lagi menjadi seorang penyair yang kasim.
Dan….Bummmm…
Aku terjatuh. Terjatuh ke lantai dibawah tempat tidurku.
Selalu begini. Ketika kematian hendak kujelang, aku selalu dialihkan untuk masuk kembali dalam kehidupan. Aku menggelengkan kepala dalam diam, dan mulai merasakan setetes airmata mengaliri pipiku.
“ Aku ingin mati…sekarang…saat ini. Supaya aku bisa mencintai dan memeluk Luisa. Aku…ingin…mati bersamanya. Tanpa ada hal lain….” Suaraku yang lirih terdengar asing dikupingku sendiri.
Kesedihan serta keputusasaan berubah menjadi sebuah kegeraman dan emosi yang meledak keras dalam diriku. Dan sekejap saja aku sudah berteriak – teriak dan membenturkan tubuhku ke dinding kamar.
Tidak ada yang mampu mendengarku. Karena sekali lagi ini adalah sesuatu yang dialihkan…. Kematianku yang dialihkan ke dalam pikiranku ketika aku sedang berada di atas gedung tertinggi dan menjatuhkan diri.
.................... (lampu menyala)
Hei….aku masih hidup kau tahu…..ini semua hanyalah sesuatu yang terjadi dalam pikiranku… Tolol. Dan kita ini tolol. Sebab semua yang dilakukan oleh tubuh sudah dilakukan oleh pikiran.
Bingung….sudahlah….ini hanya sebuah cerita. Cerita dari otak seorang tolol yang sangat suka bertualang dalam otaknya sendiri dan menjelajah ke dalam otak - otak lainnya…
Well…so long now!! Terima kasih atas tempat duduk dan secangkir espresso nikmat ini. Lihat elegannya setelan hitam merahku berkibaran ketika aku berjalan menuju kegelapan otak kalian.
Yuhuuhuhu….bisakah kalian menyalakan lampu dalam otak kalian ? Gelap sekali didalam sini…..
................ ( Lampu Semakin terang..terang dan terang....)
Neraka, xx Juli 20XX
No comments:
Post a Comment